Asal-usul “Ide Sesat” Ambil Alih Saham BCA Secara Paksa
garisberita.com – Beberapa kalangan dalam publik dan politik kembali menggulirkan wacana kontroversial: pemerintah “mengambil alih” 51% saham BCA untuk “menyelamatkan uang negara.” Ide ini pertama kali dilontarkan oleh Sasmito Hadinegoro, Ketua LPEKN, pada 12 Agustus 2025. Ia menyebut pemerintah memiliki hak mengambil alih saham itu “tanpa bayar” demi mengamankan keuangan negara lewat divestasi BCA di era BLBI. Jumlahnya disebut-sebut bisa mencapai Rp700 triliun.
Tidak hanya ekonom, dukungan serupa datang dari PKB, yang berpandangan pengambilalihan itu adalah langkah konkret untuk “menyelamatkan uang rakyat,” dengan alasan tidak memerlukan suntikan dana tambahan karena semacam “kekayaan milik negara.”
Wacana ini lagu lama, tapi dianggap muncul kembali di tengah momentum HUT ke‑80 RI, memicu ketegangan politik dan publik.
Delapan Dosa Fatal Ide Ambil Alih Paksa Saham BCA
-
Bunuh kepercayaan pasar.
BCA selama ini jadi ikon perbankan modern dengan kapitalisasi pasar Rp1.193 triliun (2024). Pengambilalihan paksa akan menciptakan ketakutan bahwa tidak ada keamanan kepemilikan—sehingga investor kabur dan pasar lumpuh. -
Injak-injak asas hukum.
Ide ini melanggar Undang-Undang Pasar Modal dan prinsip rule of law. Negara pantas menjadi wasit, tidak preman dalam merampas aset swasta. -
Rampok kekayaan rakyat.
Kepemilikan BCA tersebar—dari reksadana hingga dana pensiun. Saat harga saham ambruk akibat desakan paksa, jutaan rakyat kecil jadi korban pertama. -
Resiko kompetensi pengelolaan pemerintah.
Riwayat intervensi politik di BUMN perbankan penuh dengan kredit macet dan inefisiensi. Tambah lagi kalau negara gagal kelola BCA, beban APBN dan rakyat bisa membengkak. -
Bunuh inovasi.
BCA dikenal pionir digital banking. Jika diambil alih paksa, bisa jadi birokratis dan lamban—korban utama adalah nasabah. -
Risiko sistemik nyata.
BCA termasuk bank sistemik dengan keterkaitan luas ke sektor lain. If trust is broken, rush money bisa terjadi—dan itulah awal gelombang krisis baru. -
Hancurnya kontribusi pajak.
BCA menyetor pajak Rp21,8 triliun pada 2024. Jika pemerintah ambil alih, potensi hilangnya kontribusi ini bisa melumpuhkan pendapatan negara. -
BLBI dan divestasi sudah selesai secara hukum.
Hapus stigma seolah pemerintah masih punya klaim hukum atas BCA. Divestasi sudah dilakukan sesuai UU, didukung audit BPK. Lagi-lagi, mengejar BCA hanya menutupi kegagalan memburu obligor nakal yang tidak bayar.
Ulasan Dampak Sosial-Ekonomi dan Harapan Masa Depan
Jika ide pengambilalihan ini terus bergaung, dampaknya tidak hanya ekonomi tapi juga moral. Publik akan kehilangan kepercayaan pada stabilitas dan tata kelola. Investor asing dan lokal bisa goyah. Selain itu, BCA jadi saham sistemik—yang runtuh bisa seret sistem pembayaran dan kredit nasional.
Lebih baik pemerintah fokus pada pemberantasan korupsi, penguatan inklusi keuangan, dan perbaikan regulasi. Ini adalah jalur kebangsaan, bukan mengambil aset swasta secara implisit tanpa mekanisme transparan.
Penutup Reflektif
Korupsi, reforma tata kelola, dukungan UMKM—itu agenda yang membawa bangsa ke depan. Ide “sesat” seperti ambil alih paksa BCA adalah jebakan politik yang bisa menghancurkan fondasi pasar. Solusi sejati justru ada pada memperkuat kepercayaan, bukan menciptakannya lewat kekuasaan.
Ringkasnya
-
ide paksa ambil alih 51% saham BCA adalah jebakan mahal.
-
Dampaknya luas: kepercayaan hilang, pasar lumpuh, rakyat dirugikan.
-
Solusi ada di pemberantasan korupsi dan memperkuat ekosistem keuangan—bukan ramal kekuasaan lewat aset negara.