Polemik Tunjangan Rumah DPR Senilai Rp50 Juta/Bulan
garisberita.com – Beberapa minggu menjelang pembukaan musim sidang DPR RI periode 2024–2029, muncul berita tentang pemberian tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan pada anggota DPR — sebagai pengganti rumah dinas yang sudah diserahkan pemerintah
Keputusan ini dianggap kontroversial lantaran dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan fiskal, apalagi saat banyak rakyat masih kesulitan memiliki hunian layak Kritikus mempertanyakan urgensi perubahan ini ketika rumah dinas yang ada masih bisa diperbaiki secara transparan Bahkan, perkiraan anggaran untuk membayar tunjangan ini selama lima tahun bisa menembus angka triliunan rupiah
Puan Maharani: “Sudah Dikaji Sebaik‑baiknya”
1. Kajian Berbasis Harga Pasar Jakarta
Ketua DPR RI, Puan Maharani, membela kebijakan ini dengan menyatakan bahwa tunjangan tersebut sudah melalui kajian matang, memperhitungkan kondisi harga sewa properti di kawasan Jakarta—seiring pejabat datang dari berbagai daerah ﹙“karena kantor ada di Jakarta”﹚.
2. Buka Ruang Evaluasi
Puan juga menegaskan bahwa DPR terbuka untuk mengevaluasi jika kebijakan ini dirasa berlebihan atau masih belum tepat. Dia meminta publik mengawasi kinerja DPR agar harmoni antara aspirasi rakyat dan keputusan lembaga tetap terjaga.
3. Alasan Efisiensi vs Realitas Rumah Dinas
Sekjen DPR, Indra Iskandar, menyebutkan bahwa rumah dinas di Kalibata tak lagi layak huni dan perawatannya terlalu mahal. Solusi tunjangan disebut lebih efisien daripada renovasi total untuk fasilitas yang usia bangunannya sudah hampir 40 tahun.
Kritik Tajam dari Publik hingga Lembaga Pengawas
1. Formappi dan IPC Serukan Keadilan Fiskal
Peneliti IPC, Arif Adiputro, menilai kebijakan ini tidak peka terhadap kebutuhan publik. Dia menyoroti adanya backlog perumahan rakyat yang belum terselesaikan, sementara tunjangan elit makin besar.
2. FITRA: Perlu Transparansi & Akuntabilitas
FITRA mengecam karena dana tunjangan ditransfer dalam bentuk uang tanpa mekanisme tomokan untuk memastikan benar-benar dipakai untuk hunian. Mereka mengusulkan sistem oversight seperti earmarking dan laporan penggunaan anggaran yang terbuka.
3. LP3BI Kukuh: Tunjangan Rumah Memperparah Kesenjangan
Menurut LP3BI, tunjangan ini menunjukkan ketidakadilan struktural. Saat rakyat kesulitan membayar sewa atau cicilan rumah, elit politik justru mendapat kompensasi berlimpah. Langkah ini bisa memperlebar jurang ekonomi dan citra DPR sebagai lembaga yang elit dan jauh dari rakyat
Penutup
Ringkasan Isu Tunjangan Rumah DPR
Kebijakan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan telah menimbulkan kontroversi luas. Meski dibela Puan sebagai hasil kajian matang dan efisiensi anggaran, publik dan lembaga pengamat menilai langkah ini tidak tepat di tengah krisis perumahan rakyat. Keluhan diwarnai isu transparansi, keadilan, dan prioritas anggaran.
Harapan Audiensi dan Reformasi Kebijakan DPR
Semoga DPR lebih responsif terhadap masukan publik dan berani merombak kebijakan ini dengan evaluasi terbuka. Alternatif seperti renovasi rumah dinas, audit lembaga terkait, serta alokasi anggaran untuk perumahan rakyat akan lebih mencerminkan tanggung jawab sosial dan anggaran publik yang pro‑rakyat.